Keputusan Baru, Peran Baru

Ternyata sudah 1 tahun (lagi) saya vakum menulis, padahal sebelumnya saya sudah berjanji untuk rajin mengisi blog ini. Ya, lagi-lagi saya sendiri mengingkarinya. Jujur, saya bingung apa yang harus saya bagi di sini, mengingat tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Kemudian seseorang, yang akan jadi pemeran dalam cerita kali ini, menyarankan untuk menulis tentang perjalanan kami.

Kami. Dalam KBBI, yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara). Kata ganti yang berarti lebih dari 1 orang, yang berarti tidak sendiri. Dan ya, sekarang saya sudah tidak sendiri lagi. Janji seorang lelaki di depan wali dan para saksi, dan tentunya Tuhan Yang Maha Kuasa, telah diikrarkan. Tanda kepemilikan di jari manis kanan sudah tersemat. Status pada tanda pengenal sudah berubah.

Berawal dari rasa gelisah berkelanjutan yang muncul pada tahun lalu, saya seringkali tiba-tiba teringat momen bersama mantan kekasih saya ini. Seperti yang lalu-lalu, mulanya saya abaikan dengan dalih, "Ah, mungkin hanya rindu dengan momennya saja. Maklum sudah lama tidak berpacaran". Namun bayangan itu terus berlanjut sampai beberapa bulan.

Saat itu saya masih rutin untuk konsultasi dengan psikiater dan mengonsumsi obat. Lucunya, saya selalu terbangun di waktu yang sama setiap tidur malam, yaitu pukul 2 pagi. Karena berulang terus-menerus, daripada merugi, saya rutinkan pula untuk shalat malam. Terus terang, saya bukan tipe yang bisa meminta doa sampai berderet-deret, karena saya pikir, Tuhan paling tahu apa yang saya butuhkan dan yang terbaik untuk saya. Waktu itu, hanya dengan bersujud saja, tangis saya langsung pecah, tak bisa berkata apa-apa, namun rasanya semua yang saya rasakan bisa tertuang. Sesak memang karena menangis tertahan karena takut tangisku akan mengganggu kakak yang sedang tidur, tapi perasaanku lega.

Memasuki bulan Ramadan, saya beberapa kali minta petunjuk apakah saya harus menghubungi mantan saya ini. Saya pikir, dia berhak mendapatkan perminta-maafan dan penjelasan kenapa saat itu saya memutuskan untuk berpisah begitu saja. Mendekati hari lebaran, saya semakin mantap untuk menghubunginya, namun masih bingung untuk menentukan venue yang nyaman untuk mengobrol serius berdua, sehingga saya menunda-nunda untuk mengirim pesan kepadanya.

Tanggal 17 Mei 2021, sebuah pesan singkat masuk lewat Instagram saya, membalas Story yang saya unggah beberapa waktu sebelumnya. "Ah, kenapa dia chat duluan?", refleks saya berkata demikian, tanpa membuka pesan tersebut, hanya melihat lewat notifikasi yang muncul. Bingung karena masih belum juga menemukan tempat yang tepat, saya tunda sampai esoknya, tapi hanya sebatas membalas ucapan "Minal Aidzin Wal Faidzin" yang dikirim olehnya.

Esoknya lagi, akhirnya terpikir juga tempat yang menurut saya tepat untuk bertemu. Saya beranikan diri mengirim pesan, untuk mengajaknya bertemu di waktu luangnya. Masih seperti dulu, dia selalu mengiyakan ajakan saya, dan bertemulah kami di salah satu cafe pada 20 Mei 2021. Saya benar-benar tidak punya ekspektasi apa-apa di pertemuan kami setelah sekian lama ini. Saya hanya ingin jujur pada diri sendiri dan juga dimaafkan. Saya siap jika nantinya dia memaki saya yang sudah memperlakukan dia seenak saya.

Perbincangan mengalir begitu saja, dengan topik tentang masing-masing dari kami, dan tentunya maksud dari saya yang ingin bertemu dengannya. Syukurlah tidak ada makian sama sekali dan saya juga sudah dimaafkan, bahkan sebelum saya memintanya hari itu. Saya pikir saya sudah cukup dengan itu, namun sebelum kami akan pulang, saya tiba-tiba ingin menyampaikan sesuatu yang masih mengganjal di hati. Dia dengan senang hati duduk kembali untuk mendengarkan pengakuan saya. Entah kenapa, saya merasa harus menyampaikan ini sebelum saya (mungkin) tidak punya waktu lagi dan berujung penyesalan.

Intinya, saya masih memiliki keinginan bersama dia untuk melanjutkan masa depan nanti, karena saya menemukan pribadinya yang menurut saya tepat untuk dijadikan sebagai pendamping saya. Saya pun menyampaikan bahwa saya siap dengan jawaban apapun, karena saya tahu apa yang sudah saya lakukan terhadapnya cukup membuat sakit hati, dan seiring waktu berlalu, bisa saja perasaan seseorang berubah, bukan?

Awalnya dia tidak ingin langsung menjawab, namun dia takut akhirnya menjadi beban pikirannya sendiri. Jawabannya tentu saja sesuai prediksi. Dia menolak. Menolak karena masih ingin fokus pada kehidupannya. Malu? Tidak. Saya justru benar-benar lega, yang terpenting adalah perasaan saya tersampaikan.

Nah, lucunya pertemuan kami tidak hanya berhenti di situ. Beberapa kali kami bertemu dengan tujuan work from coffee shop, padahal saya pada saat itu sudah tidak bekerja, saya hanya menemani sambil mengerjakan rajutan, dan setelahnya pasti mencoba kuliner di kota ini karena Dia lama di ibukota. Sampai pada suatu hari, dia ingin mengakui sesuatu, yaitu meralat penolakannya. Yap, dia mengaku saat itu tidak berpikir panjang saat menjawab, akibatnya berhari-hari setelahnya dia kepikiran. Dari situlah, akhirnya hubungan kami kembali, lebih dari teman.

Singkat cerita, 24 Juni 2021, saya main ke rumahnya untuk pertama kalinya. Sebenarnya dulu sudah pernah, tapi bersama teman-teman yang lain, itupun sebelum dia sekeluarga pindah rumah. Kali ini saya benar-benar sendiri, atas undangan ibunya. Dalam perjalanan menuju rumahnya, dia bertanya apakah saya gugup. Tidak. Lagi-lagi saya tidak punya ekspektasi apa-apa, tapi saya pikir momen seperti ini sudah saatnya saja terjadi. Jadi, ya jalani saja.

Bulan Juli, cobaan datang. Dia positif Covid-19. Entahlah, saya juga jadi merasa kacau dan kondisi saya tiba-tiba drop lagi. Perasaan saya tidak karuan, khawatir, tapi saya sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa untuknya, selain menemani via telepon. Beruntungnya dia tidak perlu sampai dirawat di rumah sakit. Tapi tetap saja, membuat kami tidak bertemu selama 1 bulan. Dari momen itu, tidak tahu kenapa, saya jadi berpikiran seandainya saja saya bisa 24 jam bersamanya, merawat dia saat sakit, menemani di waktu-waktu sulitnya. Pikiran-pikiran itu pun saya sampaikan kepadanya saat kami bertemu kembali, dan ternyata dia pun merasakan hal yang sama.

Setelah kami bicarakan berdua, dia meminta ijin untuk menemui Emak. Dia sampaikan maksudnya untuk menikahi saya. Saya lupa bagaimana tepatnya proses saat itu, apa saja yang dia bicarakan ke Emak, karena saya sudah sibuk sendiri menahan air mata saya. Setelah itu kami ke makam Bapak, tapi saya juga tidak tahu apa yang coba dia bicarakan ke Bapak, karena dia meminta saya menjauh.

Bertepatan dengan hari ulang tahun Ibu, Dia dan keluarganya datang ke rumah untuk acara lamaran sederhana. Sangat sederhana. Hanya temu dua keluarga dan makan siang bersama, tanpa seragam, dekorasi, undangan, dan properti lain pada umumnya, bahkan foto pun tidak ada. Kami pikir, yang penting maksud dan tujuannya tercapai. Dua keluarga sepakat acara pernikahan sebaiknya disegerakan saja, dan kami memilih bulan Oktober, bulannya Bapak. Untuk tanggal baru disepakati saat keluargaku melakukan kunjungan balasan ke rumahnya.

20 Oktober 2021, akhirnya menjadi hari jadi kami. Dengan persiapan yang mandiri dan sangat singkat, pernikahan kami dilaksanakan di rumah, hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat saja, karena saya bukan orang yang betah (secara fisik juga) berada di tengah-tengah banyak orang. Sebenarnya saya punya tempat impian untuk melaksanakan pernikahan, namun saya berubah pikiran. Hampir sepanjang hidup (sejak tahun 1996), saya tinggal di yayasan yang didirikan oleh kakak dari kakek saya. Saya pikir ini bisa jadi momen pelepasan saya dari tempat ini menuju kehidupan saya yang baru.

Dan begitulah ceritanya. Sampai di bulan ke-7 ini pun saya masih merasa betapa singkatnya proses itu semua terjadi, mengingat sebelumnya keadaan saya yang sangat kacau, baik jasmani dan rohani. 

Menikah memang bukan solusi, tidak mudah, beberapa kali kami juga masih butuh menyesuaikan diri terhadap masing-masing. Namun saya tidak pernah menyesal, lebih sering merasa bersyukur karena saat ini saya ditemani oleh sosok yang luar biasa sangat sabar menghadapi saya. Saya pikir langka sekali bisa menemukan laki-laki seperti dia. Semoga seterusnya saya selalu diberi rasa syukur dan cukup atas dia, sampai nanti, sampai janin di perut saya ini ada di tengah-tengah kami, sampai kami beruban, sampai akhir napas kami, sampai nanti kami ditemukan lagi di surga. Amin.



CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top