Me, Latte and Overthinking

Kemarin pagi saya bangun dengan cukup semangat, akibat datangnya 1 pesan dari teman terbaik saya. Sudah setahun lebih kami berdua tidak bertemu, karena pandemi dan kami terpisah antara Malang dan Probolinggo. Terakhir kali bertemu, 31 Desember 2019, saat saya masih karyawan dengan hustle culture (hehe) dan Uma tanpa benjolan bayi di perutnya.
Sebenarnya saya berencana untuk menghabiskan waktu di rumah saja, mencoba resep baru, sehingga hari ini saya akan berjalan-jalan membeli beberapa buku dan menghabiskan waktu di cafe sambil tenggelam dalam bacaan baru saya. Dan karena ajakan Uma, saya balik rencana saya. Saya memang suka begitu, seharian keluar rumah, atau di rumah saja sekalian. Tapi bodohnya saya, bisa-bisanya tidak memasukkan dompet ke dalam tas, sehingga setelah bertemu Uma, saya harus kembali lagi ke rumah.
Masih terlihat seperti remaja, bukan?
Look like teenagers, right?
Awalnya saya berencana pergi ke mal, karena lama sekali tidak berkeliling di sana. Tapi saya mengubah rencana untuk langsung ke Gramedia Kayutangan agar nantinya saya bisa berjalan kaki ke MMMM, salah satu cafe dekat sana, tanpa perlu memindahkan motor saya dari area parkir Gramedia. Tapi, setelah saya coba berjalan beberapa meter, saya berbalik karena trotoar di sana sepi dan gelap sekali.
Saya mulai mengendarai motor saya sambil berpikir kemana tujuan saya selanjutnya. Padahal ada ratusan tempat makan dan cafe di kota ini, tapi tetap saja bingung memutuskan kemana. Lalu tiba-tiba hujan turun, saya memakai jas hujan dan pada akhirnya saya langsung menuju ke cafe biasanya saya pergi sendiri, yaitu Amstirdam, memesan latte saya, kali ini dengan sirup hazelnut, dan Indomie salted egg.
Hazelnut latte ini saya yang membuat sendiri loh, karena di Amstirdam selalu open bar, jadi (selama tidak terlalu sibuk) kita boleh membuat kopi kita sendiri. Tentu saja didampingi oleh barista di sana untuk orang-orang seperti saya yang belum bisa meracik sendiri. Mereka juga akan mengajari bagaimana menggambar di atas kopi dengan busa susu atau cupping, tapi saya selalu gagal, akhirnya hanya berbentuk seperti telur dadar. Masih lebih bagus lah ya daripada berbentuk telur orak-arik haha. 
Nah, kemudian saya mulai membuka salah satu buku, judulnya You Are Overthinking karya Ratna Widia. Pembahasan mengenai overthinking menjadi pusat perhatian saya belakangan ini. Ini menjadi salah satu ciri distorsi kognitif yang juga saya alami, yang jika berlebihan sampai mengganggu kualitas tidur saya. Sebelum akhirnya didiagnosa autoimun pada Februari tahun lalu, biasanya saya menganggap overthinking sebelum tidur sebagai kebiasaan saya makhluk nokturnal saja. Setelah tahu saya memiliki autoimun, detailnya hepatitis, saya diwanti-wanti untuk setidaknya pukul 11 - 2 pagi sudah tertidur, karena di waktu itu kan organ-organ memang waktunya beristirahat. Sehingga apabila saya bisa memperbaiki kualitas tidur saya dengan mengurangi overthinking, saya bisa memperkecil kemungkinan kondisi kesehatan saya menurun.
Oke, kembali ke buku, pada bab pertama, penulis menjelaskan bagimana bisa muncul overthinking. Yang pertama bisa dipengaruhi oleh adanya trauma masa lalu. Ini tentu sangat jelas mempengaruhi, karena apa yang pernah kita alami pastinya akan menjadi bahan pertimbangan kita apabila suatu saat terjadi hal serupa di masa depan.
Kedua, setiap manusia memiliki automatic thought atau pikiran yang secara otomatis muncul dari alam bawah sadar, baik berupa pikiran positif maupun negatif. Nah, kedua ini bisa saja muncul bersamaan, tapi salah satunya bisa mendominasi karena pikiran negatif cenderung keluar secara ekspresif, begitu penulis menjelaskan. Saya bisa menerima pernyataan tersebut karena memang begitulah pikiran negatif muncul pada pikiran saya. "Bagaimana jika itu terjadi lagi?", "Bagaimana jika ternyata jauh lebih parah?", "Bagaimana jika ini tidak bisa bekerja dengan baik?", "Jangan-jangan memang saya yang membuat dia seperti ini". Coba kita bandingkan dengan pikiran positif seperti "Aku tidak apa-apa", "Semua akan baik-baik saja", "Belum tentu seperti itu yang ada di pikirannya". Padahal pikiran-pikiran positif itu jauh lebih menenangkan yah, jika dibaca. Namun para overthinker ini justru terlalu terjebak dengan pikiran negatif di atas, dipikirkan berulang sampai akhirnya bisa mempengaruhi emosi dan tindakan yang diambil selanjutnya.
Ketiga, ada faktor lingkungan di mana kita bertumbuh. Saya sendiri tumbuh di keluarga yang utuh (bapak saya meninggal tahun 2010), baik-baik saja sebenarnya, bahkan hampir tidak pernah mendapati orang tua saya bertengkar, tapi juga tidak pernah tahu bagaimana mereka menyampaikan afeksinya. Kami (dulunya) sangat minim sekali komunikasi. Komunikasi yang saya maksud di sini adalah berbicara dari hati ke hati, menyampaikan apa yang kami masing-masing rasakan, sampai cerita tentang cinta monyet pun saya tidak berani. Saya akan berpikir berulang jika ingin menyampaikan sesuatu yang 'tidak biasa' kepada orang tua dan kakak saya, karena banyak berasumsi tentang bagaimana nanti respon mereka. Masalah komunikasi ini akhirnya bisa kami perbaiki seiring bertumbuhnya kami, dan yang terpenting kemauan kuat kami untuk mengubah.
Kembali pada poin pertama, yaitu trauma masa lalu, banyak kejadian yang membuat saya overthinking. Saya pernah menjadi korban bullying saat SMP, yang berakibat saya takut memulai pertemanan yang baru, apalagi dengan perempuan. Saya pernah menjadi pilihan kedua, yang berakibat membuat saya mempertanyakan value saya sendiri dan merasa tidak pantas diprioritaskan. Saya pernah harus membuat keputusan dalam waktu yang sangat singkat untuk keluar dari zona nyaman dan tinggal sendiri di kota yang benar-benar baru untuk saya, yang kemudian malah saya jatuh sakit dan terdiagnosa autoimun. Dan terakhir, kemampuan saya dikesampingkan hanya karena penyakit yang saya miliki, sehingga saya kehilangan pekerjaan tepat di masa sulit seperti ini.
Wah, jangan ditanyakan lagi bagaimana saya berpikir berulang-ulang mengenai kualitas diri saya, kenapa saya membiarkan orang lain berbuat demikian kepada saya, apa yang orang lain pikirkan tentang saya, bagaimana pendapat orang lain jika saya melakukan suatu hal, bagaimana jika apa yang saya coba lakukan ini ternyata gagal, dan masih banyak lagi.
Apakah saya sudah tidak pernah overthinking lagi? Oh masih. Hal yang menjadi 'kebiasaan' tentunya butuh waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan kan? Selain melakukan sesi konsultasi dengan psikiater, saya juga harus tetap melakukan sesuatu. Saya minum obat saya, saya coba lagi melakukan hal-hal yang saya suka lakukan, saya coba pikirkan lagi nilai-nilai apa yang ada dalam diri saya. Tentu saja progresnya tidak selalu membaik, pasti ada menurunnya juga, tapi setidaknya saya sudah berusaha, mencoba sesekali mengabaikan dulu hasilnya. Seperti yang dr. Jiemi Ardian pernah unggah dalam video Tiktoknya, sibuk dengan pikiran yang kemudian membuat kita tidak berani mencoba, sama saja dengan memastikan kegagalan kita.
Terima kasih sudah membaca tulisan saya yang lumayan padat ini, sampai saya bingung harus bagaimana menutupnya. Terima kasih sudah menemani saya berproses, dan semoga tulisan saya bermanfaat untuk Anda.


XOXO,

AKRF


Yesterday morning, I was waking up with so much spirit, caused by a text from my best friend. It has been more than a year we both hadn't met, because the pandemic and we are separated between Malang and Probolinggo (about 88.6 km). The last time we met was December 31 on 2019, when I were still an employee with hustle culture (LOL) and Uma, without her baby bump.
Actually, I planned to spend my time at home, try a new recipe, and so today I would go out to buy some books and spend my time at the cafe while drown myself in my new reading. Because of Uma's invitation, I twisted my plan. I like to be like that, a whole day go out of house, or be at home all day long. But how stupid I was, I didn't put my wallet into my bag, so that I had to back to my house.
At first, I wanted to go to the mal, because it had been a long time not walking around there. But I changed my plan to go to Gramedia Kayutangan, and so that I could take a walk to MMMM, the nearest coffee shop from there, without move my scooter from Gramedia parking area. But, after I walked for some meters, I walked back because the sidewalk was so dark and quiet.
A photo of old church I took from the dark sidewalk
I started to ride my scooter while thinking where I should go to next. There are hundreds restaurants and coffee shop in the town, but I couldn't decide. Then suddenly the rain was pouring, I wore my rain coat and in the end I chose to go to the coffee shop I used to go when I am alone, Amstirdam, ordered my latte. And for this time, with hazelnut syrup, and salted egg Indomie.
I made this hazelnut latte by myself, because Amstirdam always opens its bar, so (as long as not to busy) we may make our own coffee. The barista will teach for those who haven't be able to make coffee. They also teach us how to draw on the coffee with the milk foam or cupping, but I always failed. It turned out like an omelette. But still it was better than like scramble egg. LOL
Itu dia kopi gambar telor dadar saya
Here is it my coffee with omelette cupping
So then I started to open my book, titled You Are Overthinking, written by Ratna Widia. Overthinking topic is being my main attention recently. This is one of the sign of cognitive distortion I had, which if it too much, it can disturb my sleep quality. Before I was diagnosed having autoimmune on February last year, I got used to count overthinking before sleeping as my nocturnal habit. So if I can fix my sleep quality by reducing overthinking, I can minimize the possibily of the deterioration of my health.
Well, back to the book, in the first chapter, the writer explained about how can we become overthinking. The first one is caused by past trauma. This obviously could affect, because what happened to us definitely will be our consideration if it could happen again some day.
Second, each human has automatic thought which appear from our subconscious, either positive or negative thought. Both might be appeared at the same time, but one of it could be a dominant, because negative thought tend to come out expressively, that's how the writer explained. I can admit it because it is how it is. "How if it happen again?", "How if it becomes worse?", "How if this couldn't work properly?", "Perhaps it's my fault, so he/she could be like that". Let's compare with positive thought like, "I'm okay", "All is well", "Not necessary what's in his/her mind". Whereas the positive thought are way more calming if we read it. But we are, the overthinker, trapped in the negative thought, think repeatedly until can affect the emotion and action we take forward.
Third, the environment where we grow up. I grow up in complete family (but my dad was passed away on 2010), all is well actually, I even almost never know my parent had a fight, but also not know how they convey their affection. We (in the past) had lack of communication. I mean talk from heart to heart, telling what we feel, even I was too scared to tell about my puppy love. I would think repeatedly if I want to tell 'unusual thing' to my parent and sister, because having too much assumption of how will they response. This communication problem is improved as we grow up, and the most important is our willing to change.
Back to the first point, past trauma, so many things happened that makes me overthinking. I ever be bullied in Junior High School, it makes me scare to start new friends, especially with girls. I ever be the second option, it makes me doubt my value and feel like not deserve to be prioritized. I ever had to make a fast decision to go out from my comfort zone and lived alone at a real new city for me, then I fell sick and diagnosed having autoimmune. And lastly, my ability was being ruled out just because having this disease, so I lost my job in this difficult time.
Don't ask how I repeatedly ask about my own quality, why did I let people did it to me, what do people think about me, how do people think if I do this or that, how if what I try to do turn out failed, and so on.
Do I never overthinking again? Oh I do still. Habit needs a lot of time to be changed, right? Besides having consultation with my psychiatrist, I also have to do something to make a change. I take my pills, I try to do things which make me happy, I re-think about my values. Of course it's not easy, sometimes there is ups and downs, but at least I've tried, and ignore about how the result for once. Just like dr. Jiemi Ardian said on his Tiktok video, too busy with our own thought which makes us scare to try, similar with ensure our failure.
So thank you for reading my pretty-solid post, I am also confused how to end this. Thank you again for accompanying me in progressing, and I wish this post useful for you too.

XOXO,

AKRF

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top